Saturday, November 9, 2013

Mari Membuang Buku


Ya, seperti itulah sebutannya. Pada zaman ini, dimana teknologi sudah tak aneh lagi bagi masyarakat, yang membuat keadaan buku sedikit demi sedikit mulai tersisihkan, diganti oleh perangkat yang serbaguna. Sebenarnya judul tersebut saya ambil dari sebuah artikel dari majalah balairung. Dalam artikel tersebut, diupar tentang keberadaan buku yang saat ini sudah "jadul" di kalangan orang-orang. Buku saat ini pula tak ubahnya hanya menjadi bantal tidur atau hanyalah sebuah hiburan atau hanya pelarian saja.

"Buku adalah Jendela dunia"
Yap, buku adalah jendela dunia, pada saat itu. Bukan saat ini. jika kau hendak bertanya hendak kemana melihat dunia, google lah jawabannya. bagaimana tidak, informasi kini berkelibat dengan hitungan detik. Semua informasi dunia secara artifisial telah ada di dalam ruang-ruang maya. Ruang yang dengan mudah bisa mengambilkan informasi ratusan kali lebih cepat dari pada kita merengek pada buku. Buku saat ini seperti gerbong rusak yang ketinggalan lokomotif.
Sedemikian tidak berharganya sebuah buku, Voltaire pernah berujar bahwa hanya teman saja yang akan mencuri buku kita. Entah dengan maksud apa ia berujar. Barangkali ia ingin mengatakan bahwa pencuri pun enggan mencuri buku saking tidak berharganya. Walau demikian, bisa jadi justru kebalikan dari apa yang saya interpretasikan. Namun, apapun yang hendak diutarakan Voltaire, yang jelas buku mempunyai dua sisi nilai. Akan sangat dibutuhkan atau buang saja ke selokan..

Walaupun begitu, nilai yang dibawa oleh buku itu menjadi sangat subjektif tergantung pada siapa ia dipegang. Ditangan orang yang mencintai buku, ia tentulah sangat bernilai seperti pacar sendiri. Ditangan orang yang menggemari buku, ia hanyalah menjadi pelarian. Bahasa lebih halusnya adalah hiburan. Ditangan orang seperti saya, buku itu tak lebih nikmat daripada sekadar bantal (seperti yang saya kutip sebelumnya).


Meskipun begitu, buku bukan berarti telah turun kasta. Malahan, justru naik kasta.Pasalnya, ia bisa berada di tangan orang-orang seperti saya dan Anda. Tentu kenaikan kasta bagi buku ini dengan logikanya sendiri. Setiap hal memiliki keunikannya sendiri. Maka, logika kemajuannya pun juga khas. Begitu juga dengan buku. Tidak bisa logika kemajuan bagi buku disamaratakan dengan semua hal. Bagi kita buruk, belum tentu bagi buku juga buruk.

 Pada awal-awal kemunculan buku, dimana ia hanya menjadi komoditas kaum brahmana, pastor, dan pemuka agama yang lain. Ia begitu dipuja dan dipuji. Tidak hanya itu, sebuah buku juga mempunyai nilai materiil yang sangat tinggi. Pada era sebelum renaisance, satu buah injil yang ditulis tangan saja dihargai sebanding dengan berhektar-hektar tanah. Setelahnya, ketika Gutenberg menemukan mesin cetak, sebuah injil dihargai setara dengan tiga tahun gaji pegawai administrasi biasa, atau yang sering disebut dengan kerani. Kini, bahkan sebuah buku bisa dimiliki dengan hanya uang pecahan seribu.

Namun, tidak perlu disesalkan, apalagi diratapi merosotnya nilai material sebuah buku. Justru kitaharus merayakannya. Tanpa itu semua, meski untukhanya memegang lembaran buku saja, kita harus bermimpi dulu. Tentu sangat tidak asik sekali. Lantas, muncul pertanyaan besar bagi buku dan diri kita sendiri. Akankah makna dari jiwa yang muncul bersamaan dengan buku juga terdistorsi seiring penurunan nilai materialistik buku. Akankah semakin banyaknya jumlah buku yang ada juga berbanding terbalik pada kecintaan manusia terhadap buku? Sepertinya menarik jika kita menengok buku barang sebentar sebagai subjek maupun objek.

Semakin hari kita semakin asing dengan buku. Bisa dimaknai, buku datang dengan keterasingan, pergi pun dengan keterasingan. Dulu, ia hanya dekat dengan biarawan, sekarang pustakawan. Lantas, sudah semestinyalah buku kembali kerumahnya, perpustakaan. Pasalnya ia tak lagi punya tempat kembali. Setiap rumah begitu asing pada buku. Setiap rumah akan terasa lebih keren dan modern dengan laptop, televisi, I pad, dan beragam benda canggih lainnya. Namun, tidak dengan buku.

Sedangkan mengenai nasib buku, kita tak perlu merisaukannya. Dunia buku lebih dari itu semua. Bahkan ketika buku ditinggalkan oleh manusia pun, ia tetaplah mutiara yang bersinar. Sedikit lebih redup mungkin iya. Namun ia tidak akan kehilangan nilai-nilai kebajikan yang terkandung didalam setiap relung jiwa buku. Pasalnya ia memiliki rasa kepercayaan yang tinggi pada manusia. Rasa inilah yang senantiasa menghidupi. Selama masih ada yang percaya peradaban kita terakselerasi karena buku, pasti hal itu sudah lebih dari cukup.

Jika tidak, buku akan ikut tertulari oleh kebebalan kita, manusia. Sudah cukup ia menganggur didalam rak-rak dan berselimut debu. Kalaupun buku punya jiwa, dan pasti memilikinya, barangakali ia minta untuk dibuang atau dibakar saja. Sungguh sangat memprihatinkan. Lekra saja tak membakar buku. Namun apa yang kita lakukan lebih buruk daripada sekadar membakar. Kita menjejali buku dengan kebebalan dan kebodohan.

Bersamaan dengan dihapuskannya buku, setiap jiwa manusia juga akan ikut menghilang. Namun, siapa juga yang peduli dengan jiwa manusia. Jiwa bukan nyawa. Tidak ada pengaruhnya dengan kehendak dan gerak tubuh. Selama perut masih bisa makan, sepertinya buku maupun jiwa bukanlah hal yang penting.

No comments:

Post a Comment